Jumat, 20 Februari 2015

Kita

Cerita Kita

‘Cerita Kita’ adalah skenario terbaik yang pernah ku mainkan. Aku hanyut dalam cerita yang kita buat sendiri. Tak pernah mau keluar dari bagian itu. Tak pernah mau tokohku dalam cerita digantikan oleh orang lain. Cerita kita juga adalah skenario terpanjang yang pernah ada dalam hidupku.

421 hari. bukan waktu yang pendek kan? Setiap hari itulah aku rindu kamu. Rindu kita memainkan drama itu. Menyusuri pantai. Tertawa didalam hujan. Saling peluk menatap matahari terbenam. Kamu selalu bilang kalau kita akan terus bersama dalam satu cerita. Tapi sebelum tulisan ini dibuat, kamu membuat ceritamu sendiri dan keluar dari cerita kita.

Kamu nggak suka cerita sad ending. Tapi cerita kita justru berakhir begini. Atau kamu mau kita melanjutkannya agar berakhir bahagia? Ah.. pertanyaan macam apa yang kulontarkan.. Bukankah otakku terlalu bodoh, nanti justru aku yang terus menyakitimu. Akan kuperbaiki dulu sifat burukku, ku asah dulu otak tumpulku. Sebelum kita kembali (jika itu mungkin terjadi).

Biarkan sekarang aku yang meneruskan cerita ini, sampai sejauh mana aku bisa menulis dan kemudian memainkannya. Aku hanya ingin membuktikan, kalau cerita yang kita buat lebih baik daripada cerita yang kau buat sendiri. Memilikimu adalah salah satu memiliki yang terbaik dalam 17 tahun hidup ini. Masa-masa yang sudah berlalu, Mungkin bukan cerita yang bagus untuk diingat, tapi cukup luar biasa untuk cinta kita yang sederhana. Sangat sederhana.

Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak bisa tinggal lebih lama. Maafkan aku yang tidak bisa bertahan untuk bahagia bersama. Bukan salah kita. Dan Juga Bukan salah mereka. Terima kasih banyak untuk jatuh cinta yang pernah kita buat (dulu). Aku belum bisa membangunnya dengan baik. Maaf.

Kita Satu

Kita adalah satu
Bagiku sahabat adalah bukan mereka yang hanya ada di saat ku senang, tapi mereka yang selalu ada di saat ku duka. Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti Klara, Qaila, dan Rafa, mereka yang selalu mengerti aku. Aku sahabatan sama mereka sejak aku masih kecil, sampai sekarang ini. Mungkin, karena orangtua ku dulunya juga sahabatan sama orangtuanya Klara, Qaila, dan Rafa.
Di pagi hari yang cerah, aku, Klara, Qaila, dan Rafa berangakat ke sekolah bersama-sama. Setelah kami sampai di sekolah, kami langsung masuk kelas karena bel masuk telah berbunyi. Jam pertama adalah pelajaran Matematika, Rafa sangat senang dengan pelajaran ini dan dia pun cukup pintar. Kemudian Pak Reno pun masuk ke kelas kami, dia adalah guru Matematika di sekolah kami ini.
“Anak-anak ! hari ini kita ulangan”  ujar Pak Reno.
“Haahhh ….. ! ulangan ?” kata murid-murid dengan ekspresi terkejut.
“Iya, sekarang kita ulangan” jawab Pak Reno.
“Pak kenapa ulangannya mendak kaya gini ?” tanya ku kepada Pak Reno.
“Agar Bapak tahu siapa murid yang sudah belajar dan murid yang belum belajar” kata Pak Reno sambil tersenyum. “Kalian sudah siap kan untuk ulangan hari ini ?”
“Sudah siap Pak” jawab Rafa dengan suara lantang.
“Ya sudah kalau semuanya sudah siap, mari kita mulai ulangan matematika hari ini” kata Pak Reno.
Lalu Pak Reno membagikan selembaran soal ulangan Matematika kepada semua murid di kelas. Aku pun nampak kebingungan pada saat mengerjakan soal ini, karena soalnya sangat susah sekali. Jujur saja aku memang semalam tidak belajar, karena aku terlalu asik menonton tv dan memainkan handphone.
“Rafa …! Rafa …!” kata ku dengan suara pelan.
Aku berulang kali memanggil Rafa, tapi dia tidak menoleh ke arah ku sama sekali. Mungkin memang dia benar-benar tidak mendangar suara ku, atau hanya berpura-pura tidak mendengar suara ku. Saat ku melihat jam, ternyata telah menunjukan pukul 09.15, yang menandakan bel istirahat tinggal 15 menit lagi. Tapi lembaran jawaban ku masih banyak yang belum di isi. Aku pun segera mengisi soal yang belum ku jawab, itu pun hanya dengan kira-kira saja.
“Ayo anak-anak kumpulkan lembaran jawaban dan soalnya juga di meja Bapak !” kata Pak Reno, ketika bel istirahat berbunyi.
“Tapi Pak masih banyak soal yang belum kami jawab, lalu bagaimana ?” Tanya murid-murid kepada Pak Reno.
“Ya sudah kumpulkan saja” jawab Pak Reno.
Setelah itu aku, Klara, Qaila, dan Rafa, pergi ke kantin sekolah bersama-sama untuk istirahat. Setelah sampai di kantin kami memesan makanan dan minuman kepada Ibu kantin, lalu kami mencari tempat duduk yang kosong di sana. Kami di kantin membahas ulangan matematika tadi.
“Rafa, tadi aku manggil kamu. Tapi kamu kenapa enggak menoleh ke arah ku ?” tanya aku dengan ekspresi penasaran.
“Ya maaf ! Tadi aku takut ketahuan Pak Reno, soalnya Pak Reno ngeliatin aku aja” kata Rafa.
“Iya deh aku maafin” kata ku dengan muka jutek.
“Menurut kalian soal tadi itu susah apa enggak ?” tanya Klara.
“Kalau menurut ku soal tadi itu susah” jawab Qaila.
“Aku setuju sama kamu, Qaila. Soal tadi itu susah banget” kata ku.
“Kalau menurut ku soal tadi enggak terlalu susah juga, lumayan gampang” jawab Rafa.
“lumayan gampang dari mana ? Soal tadi itu susah banget Rafa, aku setuju sama kalian semua kecuali Rafa” kata Klara dengan muka sinis.
“Tau tuh Rafa” kata Qaila.
“Kita semua tau kalau kamu itu memang pinter matematika, tapi jangan sombong gitu dong Rafa !” kata ku.
“Aku enggak bermaksud sombong, kenapa kalian jadi kaya gini ?” tanya Rafa.
Lalu bel masuk pun berbunyi, aku, Klara, Qaila, dan Rafa, serta murid-murid yang lainnya pun memsuki kelasnya masing-masing. Selanjutnya kita memasuki pelajar ke dua yaitu IPA. Kemudian Pak Alex memasuki kelas kami, dia adalah guru IPA di sekolah kami, orangnya pun asik. Tak terasa bel pulang berbunyi, mungkin karena terlalu asik belajar IPA jadi tak terasa.
Aku, Klara, dan Qaila berjalan keluar kelas, dan Rafa menghampiri kami. Akhirnya kami berempat pun pulang bersama-sama.
“Rafa, bagaimana kalau kita belajar Matematika bersama ?” tanya Qaila.
“Ya benar kata Qaila, bentar lagi kita kan Ujian Nasional” jawab Klara.
“Ya sudah terserah kalian saja, tapi mau di rumah siapa ?” kata Rafa.
“Eemm …., di rumah ku saja” usul ku.
“Aku setuju” kata Rafa.
Ke esokan harinya, pada hari minggu yang sejuk Klara, Qaila, dan Rafa pergi ke rumah ku untuk belajar Matematika bersama-sama. Rafa yang mengajari aku, Klara, dan Qaila tentang rumus-rumus Matematika. Lalu Rafa memberikan soal kepada kami, dan kami pun mejawab soal itu dengan benar. Kami senang karena akhirnya kami bisa mengerti tentang pelajaran ini. Karena minggu yang akan datang kami akan menghadapi Ujian Nasioanal.
Seminggu kemudian, kami menghadapi Ujian Nasional dan pada hari pertama adalah pelajaran Matematika. Berkat Rafa yang telah mengajari ku Matematika, aku bisa mengerjakan soal-soal Ujian Nasional dengan baik.
“Rafa, makasih ya. Berkat kamu tadi aku bisa mengerjakan soal-soal Ujian Nasional dengan baik” kata ku.
“Makasih ya Rafa” kata Qaila.
“Iya Rafa, makasih ya” kata Klara.
“Iya, sama-sama. Aku senang bisa bantu sahabat-sahabat ku” jawab Rafa.
“Semoga kita mendapatkan hasil yang memuaskan” ujar ku.
“Amin ….!” Kata kami secara bersamaan.
Sekitar dua minggu kemudian, nilai hasil Ujian Nasional dibagikan. Dan hasilnya kami semua lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Kami pun merayakan kelulusan kami itu dengan makan-makan di rumah ku. Pada hari itu kami semua sangat senang, karena kami semua lulus dengan hasil yang memuaskan. Tapi keadaan menjadi hening, ketika kami memikirkan akan melanjut kan kemana kita nantinya.
“kita kan udah lulus, jadi kita bakalan pisah dong ?” tanya ku.
“Iya benar juga, pasti nanti kita akan melanjutkan ke sekolah yang berbeda-beda” jawab Rafa.
“Tapi aku enggak mau pisah sama kalian semua” kata Qaila dengan ekspresi sedih.
“Aku juga gak mau pisah sama kalian” kata Klara.
“Pokoknya kita enggak boleh pisah, walau pun nanti kita beda sekolah” usul ku.
“Aku setuju, kalau kita beda sekolah nanti kita harus sering-sering kumpul kaya begini” usul Rafa.
“Iya, jadi di antara kita jangan ada yang sombong yah !” kata Klara.
“Walaupun kita nanti beda sekolah tapi kita tetap satu” kata Qaila.
“Setuju …! Kita kan satu untuk semua dan semua untuk satu” kata ku, Klara, Qaila, dan Rafa secara bersamaan.
Akhirnya, walaupun kita sekolah SMAnya beda-beda sekolah. Tapi buktinya kita sampai sekarang ini masih sahabatan kaya dulu. Dan dari aku, Klara, Qaila, dan Rafa tidak ada yang berubah. Kita enggak saling sombong, ingkar janji, dan yang lainnya. Kita memang satu untuk semua dan semua untuk satu.

Cerita kita

                            Don't Say Good Bye

“Peluk aku sebentar saja, biarkan kudengar detak jantungmu. Seirama dengan detak jantungku yang berlomba mencari ketenangan abadi. Biarkan aku memelukmu, setidaknya peluk luka dan perihku sebagai seorang sahabat…”
Jantungku berdetak kencang. Aku memegang dadaku. Aku mencoba mengabaikan detaknya tapi semakin aku mengabaikannnya, justru detak jantungku semakin kencang saat mendengar nama Ikeh kembali disebut. Ikeh, hmm ya Ikeh memang sangat cantik, dia sahabatku yang paling baik. Aku sudah biasa mendengar orang-orang menggosipkannya, bahkan tak sedikit yang membenciku karena dekat dengan Ikeh. Entah kenapa, aku juga tidak tau kenapa aku bisa begitu dekat dengannya. Perkenalan yang tidak disengaja, dan berlanjut menyenangkan.
Ikeh memang sosok yang hangat. Dengan caranya menatapku, mengajariku, bahkan saat dia memarahiku karena dia tidak mau terjadi apa-apa padaku. Ikeh juga yang mengajari aku bermain gitar, mengajari aku naik sepeda di pinggir pantai, dan yang memeluk aku saat sedih. 
Lima tahun aku menahannya, sampai akhirnya dadaku begejolak penuh amarah .. Ada orang lain yang bisa mengubahnya, membuatnya nyaman dan merengkuhnya selain aku. Lalu bagaimana dengan aku? Apa aku masih bisa bertahan? Apa aku masih bisa terus di sisinya.. walaupun hanya sebagai sahabat?